Apakah saya boleh bertanya???

Pada dasarnya setiap orang di dunia ini mempunyai rasa ingin tahu yang besar, dan semua dari kita memulainya sejak masih kanak-kanak, maka hal mendasar yang dilakukan saat itu adalah bertanya. Disaat rasa ingin tahu yang demikian besar namun pada saat kanak-kanak kita belum bisa belajar sendiri, belum bisa membaca, belum banyak mengenal kosa kata sehingga belum mampu untuk memahami kata-kata yang ada, maka anak-anak  pun akan bertanya. “Mama, mengapa tulisan ‘ambulans’ yang ditulis di depan mobil ambulans itu terbalik?”,  “Ayah,mengapa setir mobil berada disebelah kanan?”, “Kakak, mengapa kucing hitam diidentikkan dengan penyihir?” atau apapun pertanyaan itu yang terkadang kita sendiri tidak pernah terbesit untuk mencari tahu alasan-alasan tentang yang ditanyakan itu sebelumnya.

Anak kecil akan merasa senang jika ia mendapatkan jawaban atas apa yang ditanyakannya, dan ia tak akan sungkan untuk bertanya lagi suatu saat nanti. Namun beberapa orang atau orang tua telah mematikan daya imajinasi anak-anak dengan membuatnya takut atau malu bertanya, kadang-kadang mereka menjawab, “Nak, nanti kalau kamu sudah gede akan tahu sendiri”, atau terkadang lebih sadis dengan jawaban “Jangan kebanyakan Tanya!”.  Bagaimana mungkin anak kecil akan tahu sesuatu padahal dia belum bisa membaca kalau tidak dengan bertanya? Ruang imajinasi akan lebih terbuka jika kita lebih banyak bertanya.

Kemudian setelah memasuki bangku sekolah, kita akan menghadapi situasi  bahwa setelah guru selesai menerangkan pelajaran maka beliau akan berkata, “Ada pertanyaan??”,  jika anak-anak itu sudah dibudayakan untuk berani bertanya sejak kecil maka dia tak akan sungkan untuk bertanya kepada gurunya. Seorang guru yang baik tidak akan pernah merendahkan apapun pertanyaan yang diajukan oleh muridnya, dia tidak tahu maka dia bertanya.

Bertanya bukan merupakan ciri orang bodoh, dulu saat sedang kuliah saya hampir ingin menanyakan sesuatu kepada dosen, namun saya kemudian bertanya kepada teman di sebelah saya terlebih dahulu, “Iki pertanyaan bodoh po ra toh?”, saya menanyakan sesuatu yang mungkin terdengar gampang untuk dijawab, tapi ternyata temanku juga tidak bisa menjawabnya kemudian dia berkata, “Tidak ada pertanyaan bodoh, justru kita akan bodoh jika tidak bertanya!”. Saya kemudian bertanya, dan senangnya sang dosen sangat menghargai pertanyaan saya dan menjawabnya dengan sepenuh hati, walaupun saya mendengar ada teman lain (yang jauh lebih pintar) juga berusaha menjawabnya, “Ya iyalah!!”. Waktu itu saya berpikir bahwa saya rasa baru saja saya mengajukan pertanyaan yang terdengar mudah baginya, namun tidak mudah bagiku…..

Dahlan Iskan, Menteri BUMN, adalah sosok yang hebat menurut saya, saat beliau ingin menghidupkan Merpati Nusantara Airlines, maskapai penerbangan nomer dua di Indonesia pada waktu itu. Beliau mengumpulkan semua direksi, komisaris, manajer senior, karyawan dan semua orang yang berurusan dengan Merpati.

Dahlan Iskan ingin membangun kembali merpati yang terpuruk, sebuah perusahaan penerbangan yang Tiap bulan pendapatannya hanya Rp 133 miliar namun Pengeluarannya mencapai Rp 178 miliar. Pesawatnya tua-tua pula. Dahlan Iskan tahu bahwa untuk bisa merubah keadaan ini beliau harus banyak bertanya, tidak hanya bertanya kepada direksi, manajer senior atau komisaris, namun Dahlan Iskan tidak sungkan-sungkan untuk bertanya kepada karyawan bawahan yang langsung bekerja di lapangan.  Dengan banyak bertanya maka ide akan muncul, dan Dahlan Iskan memberikan kesempatan yang sama pada semua orang yang hadir dalam rapat untuk mengajukan pertanyaan dan ide-idenya.

Dengan diawali dengan pertanyaan maka rapat untuk membahas nasib Merpati Airlines itu bisa berjalan, ide bermunculan dan sesuatu yang belum pernah terpikirkan selama ini muncul secara tiba-tiba.  Tony Hsieh, CEO Zappos, perusahaan sepatu on line yang sangat sukses, berpendapat bahwa kelompok di perusahaan perlu memformulasikan pertanyaan secara berkala. Menurut Tony, pertanyaan akan menimbulkan pembicaraan, dan pembicaraan akan membangun spirit memikirkan masa depan dan perbaikan bersama.

 

Budaya bertanya sebenarnya bisa membantu kita untuk tidak selamanya melihat masalah sebagai keterpurukan, tetapi langsung sebagai materi “problem solving” yang perlu digarap.  Dalam  sebuah rapat  misalnya seperti rapat Merpati yang dipimpin oleh Dahlan Iskan tentu akan banyak muncul pertanyaan-pertanyaan yang berbeda dari setiap individu anggota, dan setiap individu darinya akan melemparkan ide-ide yang berbeda pula. Dengan cara ini kita akan lebih banyak bisa untuk toleran melihat perbedaan dan mencari “power” dalam perbedaan. Mengapa kita tidak mengambil manfaat dari keberbedaan?  Banyak perusahaan yang besar yang memulai eksistensinya dengan banyak bertanya, CEO Google Eric Schmidt mengatakan, “We run the company by the question, not by answers”.

Namun apakah dari kita sudah bisa memberanikan diri untuk bertanya?? Kadang-kadang kita takut dianggap dungu dan “innocent” , padahal di dalam pendidikan kemiliteran yang terkenal sangat instruksional dan otoriter, para serdadunya dilatih untuk mengajukan pertanyaan.

Ketakutan terkadang ada, namun bisa mengurangi ketakutan itu adalah sebuah pengalaman. Keberanian untuk bertanya adalah keberanian untuk membuka wawasan dan bahkan memulai hidup baru.  Seorang pasangan Suami-Istri memulai hidup barunya diawali dengan pertanyaan  dari sang lelaki, “Apakah kamu mau menjadi istriku?” dan masih banyak lagi contohnya.

Namun yang harus diingat adalah bahwa kita harus bisa terbiasa untuk bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot, bukan pertanyaan yang asal bunyi atau melemparkan teka-teki konyol.

Apakah saya boleh bertanya???

 

Terima kasih telah membaca.

"Mama kenapa tulisan 'ambulans'-nya terbalik?"

"Mama kenapa tulisan 'ambulans'-nya terbalik?"

Tentang pijarpatricia
ADITYO KUSNADI

Tinggalkan komentar